Rabu, 25 Mei 2011

Management Crisis - Journal

EVALUASI MANAJEMEN KRISIS PADA LEMBAGA PEMERINTAHAN
DI PEMPROV DKI JAKARTA

Oleh : Shinta Desiyana Fajarica
Fakultas Komunikasi Universitas Bina Darma
Email : shinta_ojang@yahoo.com


Abstract : This Journal  focused on public relations government league in perform their function as a crisis management arranger. The Public Relations limited control in government league oftentimes become obstacle for Public Relations to more explore in creating and implement their programs which has good value for publication and positive image of government league over its public. Public Relations should have their own access and special authority which facilitated them to develop their ideas and creativity in order to reach those positive image. If we closely study it then we will find that crisis offer a chance to be better if it’s supported by positive indications and a great teamwork. Besides discussed about public relations role, this journal also roll out the indications which are explained when the league or institute get involved in facing the crisis.

Keywords: Crisis Management, Public Relations, and Image

Abstrak : Jurnal ini membahas tentang peran humas lembaga pemerintahan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola aktivitas manajemen krisis. Keterbatasan ruang gerak humas di lembaga pemerintahan ini kerap kali menjadi hambatan bagi pihak humas untuk lebih bereksplorasi dalam membuat serta melaksanakan program yang dinilai baik untuk  publikasi serta citra positif lembaga pemerintahan di masyarakat. Seharusnya humas memiliki akses dan wewenang khusus, yang memudahkan pihak humas untuk mengembangkan pemikiran serta kreatifitas  mereka agar citra positif yang diinginkan dapat tercapai dengan baik dan maksimal.  Krisis ini dapat dijadikan sebuah kesempatan bagi lembaga untuk menjadi lebih baik apabila didukung dengan kinerja serta indikasi positif dari lembaga tersebut. Selain membahas tentang peran humas, jurnal ini juga memaparkan indikasi yang mempengaruhi berperannya sebuah instansi dalam menangani krisis. Indikasi inilah yang dijadikan tolak ukur sejauhmana instansi tersebut dapat terlibat dan ikut berperan serta dalam mengatasi setiap kemungkinan krisis yang akan, sedang atau sudah terjadi di lingkungan institusi tersebut.

Kata kunci: Manajemen Krisis, Humas dan Citra



1.              PENDAHULUAN
Suatu institusi pemerintahan adalah sebuah lembaga yang menaungi hampir setiap hajat hidup orang banyak. Keberadaan institusi ini di tengah–tengah masyarakat diharapkan mampu menjadi penengah dari setiap persoalan hidup yang dihadapi oleh publiknya. Kepercayaan publik menjadi unsur penting agar aktivitas sebuah institusi pemerintahan dapat berjalan dengan semestinya. Adapun kepercayaan ini bisa didapatkan apabila institusi serta publik internal yang terkait di dalamnya mampu memberikan citra positif di mata masyarakat.
Citra positif ini seringkali dipengaruhi oleh rumor/isu yang berdampak pada ketidakpercayaan publik. Ketidakpastian tentang suatu rumor menyebabkan timbulnya berbagai pertanyaan dan tanggapan di kalangan publik, ada yang positif dan ada yang negatif. Keinginan untuk memiliki citra dan persepsi yang baik di hadapan publiknya berawal dari pengertian yang tepat mengenai citra dan unsur pemahaman akan apa yang disebut dengan citra ini juga menjadi dasar untuk menentukan strategi dalam membentuk citra organisasi/lembaga.
Krisis dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, tanpa menunggu kesiapan dari institusi atau lembaga. Pada umumnya tidak ada institusi yang kebal terhadap krisis. Untuk itu diperlukan adanya aktivitas ‘Manajemen Krisis’ yang mampu terencana, terkelola, dan terantisipasi oleh sebuah institusi.
Manajemen krisis dapat dimanfaatkan hampir di semua bidang, tetapi umumnya digunakan dalam  hubungan  internasional, politik, bisnis dan manajemen (Crisis PR, Firsan Nova : 2009). Banyak perusahaan atau institusi yang sudah memiliki ‘manual crisis plan’ atau petunjuk menghadapi  krisis. Hal ini penting untuk membantu mengidentifikasi kemungkinan terjadinya krisis, seperti kebakaran, bencana alam seperti banjir, ancaman bom, kekerasan, dan  kemungkinan  jatuhnya korban akibat kesalahan pemakaian produk.
Institusi atau lembaga yang rentan terhadap krisis yaitu lembaga pemerintahan. Sejak dimulainya era reformasi pada tahun 1998, aktivitas pemerintahan dan segenap oknum di dalamnya kerap menjadi sorotan publik. Hal ini dianggap wajar karena sejak saat itu, masyarakat dan kaum media, diperbolehkan untuk bebas bersuara dan  memberitakan opini mereka terhadap setiap tindak tanduk yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan.
Lembaga pemerintahan adalah sebuah institusi yang berfungsi sebagai pelaksana jalannya aktivitas pemerintahan. Lembaga  ini biasanya memiliki berbagai fungsi kedinasan yang masing – masing memiliki tugas serta wewenang yang telah ditetapkan. Salah satu bagian yang cukup memegang peranan penting dalam hal menangani berbagai permasalahan atau krisis yang dihadapi oleh lembaga pemerintahan adalah humas pemerintah. Dalam penelitian kali ini ada tiga pokok permasalahan yang ingin dikaji lebih lanjut, yaitu : Bagaimana humas lembaga pemerintahan memerankan fungsinya dalam merencanakan aktivitas manajemen krisis, indikasi apa saja yang mempengaruhi berperannya sebuah institusi/lembaga dalam menangani krisis, dan bagaimana hubungan antara aktivitas manajemen krisis bagi citra positif lembaga pemerintahan ?
Merujuk pada latar belakang serta permasalahan yang ada diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
Peran Humas lembaga pemerintahan yang menjalankan fungsinya dalam merencanakan aktivitas manajemen krisis untuk menanggulangi krisis yang ada di lembaga tersebut, indikasi yang berperan dalam hal keterlibatan antara sebuah institusi/lembaga dengan krisis yang tengah terjadi, memperjelas hubungan antara aktivitas manajemen krisis bagi citra positif sebuah lembaga pemerintahan.
Hasil penelitian manajemen krisis, perencanaan humas dan pencitraan ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat, yaitu : hasil penelitian secara teoritis akademis diharapkan dapat membuktikan bahwa teori manajemen krisis yang sudah ada bisa menjadi dasar dari penerapan aktivitas manajemen krisis dalam kehidupan yang nyata. Selain itu, peneliti juga berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menambah referensi pustaka pendidikan, khususnya mengenai manajemen krisis berikut aktivitas dan dampak yang terkait di dalamnya, serta dapat menjadi bahan masukan bagi siapapun yang ingin mengkaji tema ini lebih dalam dengan metode yang berbeda dan  memiliki konsep yang lebih baik lagi. Dalam penelitian kali ini yang membedakan pembahasan penelitian dari penelitian sebelumnya adalah peneliti fokus pada peran humas pemerintah itu sendiri sebagai apa ketika situasi krisis sedang terjadi, selain itu peneliti juga ingin mencari tahu apa indikator – indikator yang menyebabkan sebuah institusi atau lembaga dapat berperan serta dalam menangani krisis, dan bagaimana penanganan krisis itu sendiri dapat menjaga citra positif dari lembaga pemerintahan. 
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga - lembaga pemerintahan, untuk melakukan inovasi serta revitalisasi yang lebih baik lagi dalam hal perencanaan strategi penanganan krisis dan sistem kerja institusi.
Untuk menjaga agar penelitian ini menjadi lebih fokus dan terarah, maka diperlukan adanya batasan masalah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini akan dibatasi pada teori manajemen krisis yang dikemukakan oleh Katz yang menyatakan bahwa krisis komunikasi membutuhkan tidak hanya penanganan ketika kondisi organisasi sedang berada di bawah krisis, tetapi juga langkah cepat oleh praktisi humas dalam merespon informasi terbaru di media. Teori ini tentunya akan didukung oleh teori – teori krisis lainnya yang akan dideskripsikan lebih lanjut pada kerangka konseptual dari penelitian ini.

2.               Metodologi Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka Penelitian ini akan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan evaluasi formatif. Penelitian deskriptif kualitatif selalu memusatkan diri pada suatu unit tertentu dari berbagai fenomena, untuk itu penelitian ini memungkinkan studi yang amat mendalam untuk mencapai maksud penelitian. Sedangkan evaluasi formatif menurut Patton (2001) adalah suatu strategi proses evaluasi yang bersifat sangat deskriptif serta bertujuan untuk:
1.      Menyajikan kedalaman dan rincian tentang kekuatan serta kelemahan program.
2.      Apa yang bekerja dan tidak bekerja dengan baik.
3.      Persepsi seperti apa yang ditampilkan oleh individu – individu yang terlibat dalam program.
Strategi penelitian ini menggunakan studi kasus yang memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain penelitian ini dapat mengumpulkan data dari berbagai sumber. Sebagai sebuah studi kasus maka data yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dan  hasil penelitian ini hanya berlaku pada kasus yang diselidiki. Tehnik pengumpulan data akan dilakukan dengan cara pengumpulan data primer dan data sekunder.
Penentuan narasumber  pada penelitian ini didasarkan pada purposive sampling yaitu mengambil narasumber dengan pertimbangan narasumber paling tahu dan relevan dengan masalah yang ingin diketahui oleh peneliti (Sugiyono : 2008).
Penelitian ini akan menggunakan analisis data dengan desain deskriptif  kualitatif, desain ini memiliki banyak kesamaan dengan desain deskriptif  kuantitatif, karena itu desain deskriptif kualitatif bisa disebut pula dengan kuasi kualitatif atau desain kualitatif semu. Artinya desain ini belum benar – benar kualitatif karena bentuknya masih dipengaruhi oleh tradisi kuantitatif, terutama dalam  menempatkan teori pada data yang diperolehnya (Bungin Burhan : 2009).
Pengecekan keabsahan data didasarkan pada derajat kepercayaan (credibility) dengan teknik triangulasi, ketekunan pengamatan, pengecekan teman sejawat (Moleong : 2004). Menurut Moleong (2007), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah melalui sumber lainnya.Denzin dalam (Moleong : 2007) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Berikut reka penelitian yang akan digunakan pada penelitian kali ini :

3.               Kerangka Konsep dan Pembahasan
3.1.         Rumor
Rumor atau  yang disebut dengan isu, seringkali memiliki konotasi yang tidak baik, suatu pernyataan yang tidak bisa dibuktikan.  Rumor umumnya menyebar secara cepat, sangat sulit untuk dikontrol, tidak terlihat dan tidak mungkin dihindari. Rumor merupakan salah satu elemen dasar dalam berinteraksi selama setiap manusia bergaul dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, rumor dapat membuat manusia menyadari akan kondisi yang terjadi di sekitarnya (Kimmel, Alan J : 2003).
3.2.           Krisis
Pada umumnya krisis dilihat sebagai suatu situasi atau kejadian yang lebih banyak memiliki implikasi negatif pada organisasi atau sebaliknya. Fearn – Banks : 1996, mendefinisikan krisis sebagai :
“ A major occurence with a potentially negative outcome affecting an organization, company or industry, as well as its publics, products, services, and good name
Biasanya sebuah krisis mengganggu transaksi normal dan kadang mengancam keberlangsungan hidup atau keberadaan organisasi. Sebagai ancaman ia harus ditangani dengan cepat agar organisasi dapat berjalan normal kembali. Untuk itu Holsti melihat krisis sebagai ‘situations characterized by surprise, high treat to important values, and a short decision time’ (Guth : 1995).
3.3.         Public Relations
Definisi lengkap dikemukakan oleh seorang tokoh professional dan akademik Dr. Rex F. Harlow seperti dikutip Scott M. Cutlip (2006:5), dalam bukunya ‘Building a Public Relations Definiton Education’, yang mengumpulkan hampir 500 definisi yang ditulis antara tahun 1900-an dan 1976, mengidentifikasi elemen – elemen utamanya guna menunjuk apa itu Public Relations, bukan sekedar apa yang dilakukan profesi tersebut. definisinya mencakup elemen konseptual dan operasional yaitu sebagai berikut : PR adalah fungsi manajemen tertentu yang membantu membangun dan menjaga lini komunikasi, pemahaman bersama, penerimaan mutual dan kerjasama antara organisasi dengan publiknya, PR melibatkan manajemen problem atau manajemen isu, PR membantu manajemen agar tetap responsif dan mendapat informasi terkini tentang opini public, PR mendefinisikan dan menekankan tanggung jawab manajemen untuk melayani kepentingan publik, PR membantu manajemen tetap mengikuti perubahan dan memanfaatkan perubahan secara efektif, dan PR dalam hal ini adalah sebagai sistem peringatan dini untuk mengantisipasi arah perubahan, dan PR menggunakan riset dan komunikasi yang sehat dan etis sebagai alat utamanya.
3.4.         Manajemen Krisis
Krisis harus direspon dengan baik oleh perusahaan, biasanya dapat dilakukan melalui Public Relations yang menjembatani antara organisasi dengan publiknya. Di samping itu PR adalah fungsi manajemen yang mengidentifikasi sikap publik. Berdasarkan fungsi ini, maka kita dapat menerapkan beberapa aspek berikut :
1.               Melibatkan pihak manajemen secara langsung di dalam krisis. Hal ini akan memperkecil tingkat tekanan yang dialami oleh senior management dalam mengambil keputusan tentang penanggulangan krisis. PR dapat membuat laporan secara berkala mengenai perkembangan krisis yang terjadi sekaligus melibatkan manajemen langsung ke lokasi kejadian krisis.
2.               Perusahaan harus memiliki tindakan komunikasi yang sesuai dengan kondisi perusahaan pada saat krisis. Dalam hal ini informasi yang akan disampaikan harus benar – benar dikemas dengan baik. Pada masa ini kebutuhan akan informasi menjadi tinggi karena itu diharapkan informasi dapat bergerak cepat, akurat dan selalu terkini.
3.               Menggandeng media sebagai pusat informasi untuk publik. Selain itu informasi yang ingin disampaikan harus berada pasa satu pintu , karena itu diperlukan Crisis Center atau Emergency Center dengan staf – staf yang terlatih dan memilki kemampuan lebih.
Berdasarkan aspek – aspek diatas, kita dapat melihat adanya keterkaitan yang erat antara PR, krisis, dampak dari krisis, aktivitas manajemen krisis, hubungan dengan media, dan citra. Hal ini dapat lebih dipahami pada konsep praktis PR yang digambarkan dalam sebuah model oleh Pieczka (L’etang : 2008), yang menunjukkan bahwa inti dari organisasi diproyeksikan oleh apa yang ada di dalamnya yang akan membentuk citra mereka sendiri. Berikut Gambarnya :

3.5.         Definisi Media Relations
Mengutip definisi PRSSA, media relations didefinisikan sebagai ‘the public relations professional maintain good relations with professional in the media, understand their deadlines and other restraints and earn their trust’ (Stanley J Baran : 2004). Philp Lesly (1991), mendefinisikan media relations sebagai hubungan media komunikasi untuk melakukan publisitas atau merespon kepentingan media terhadap kepentingan organisasi. Yosal Iriantara (2005), mengartikan Media Relations sebagai bagian dari aktivitas PR eksternal yang membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa sebagai sarana komunikasi antara organisasi dengan public untuk mencapai tujuan organisasi.
Hubungan antara media, publik dan organisasi dapat kita lihat pada bagan berikut:
3.6.         Citra
Banyak tokoh komunikasi yang setuju bahwa ‘Citra adalah sesuatu yang dibentuk oleh komunikator’. Katz mengemukakan bahwa citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas (Soemirat & Ardianto : 2004). Pengertian citra itu sendiri abstrak (intangible), tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik.

3.7.         Model Konseptual
Dari kerangka konsep yang telah dijelaskan diatas, maka didapatkan suatu model konseptual seperti yang terdeskripsi pada gambar berikut :

3.8.         Peran humas Pemprov DKI dalam mengelola manajemen krisis
Humas Pemprov DKI memerankan fungsinya dalam mengelola manajemen krisis sebagai pusat pengelola informasi atas kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah terkait dengan penanganan krisis. Informasi tersebut nantinya akan disampaikan oleh humas baik ke dalam lingkungan Pemprov DKI ini sendiri maupun informasi ke pihak eksternal seperti media dan masyarakat. Selain itu Humas Pemprov DKI juga memegang kunci penting sebagai pihak yang memelihara hubungan baik dengan media.
Peran ini sesuai dengan teori Humas dalam sektor publik, seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya oleh Alison Theaker yang menyebutkan bahwa pelayanan informasi akan kebijakan pemerintah adalah keseluruhan wewenang dari humas yang bekerja dalam lingkup lembaga pemerintahan. Melalui informasi yang dikelola dengan baik dan hubungan baik dengan media, maka stabilitas dalam lembaga Pemprov DKI ketika menghadapi krisis dapat terjaga dengan baik dan terkontrol.
Adapun langkah – langkah yang dilakukan oleh pihak Humas Pemprov DKI dalam mengelola informasi untuk menangani krisis akibat isu negatif atas suatu peristiwa / kejadian yaitu :
1.      Melakukan identifikasi terhadap isu yang sedang terjadi
2.      Merumuskan permasalahan
3.      Melakukan koordinasi dengan pihak media
4.      Melakukan kontrol pemberitaan pada media
5.      Mengevaluasi informasi di media

3.9.         Indikator – indikator  yang mempengaruhi berperannya sebuah institusi, lembaga atau individu dalam menangani krisis
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terdapat indikator – indikator yang bisa mempengaruhi keterlibatan sebuah institusi atau lembaga dalam kapasitasnya menghadapi situasi krisis. Adapun indikator tersebut yaitu :
1.               Kedekatan personal
Indikator ini dinilai mempengaruhi karena ketika situasi krisis terjadi, kedekatan personal bisa dijadikan sebagai unsur peredam dari situasi krisis. Contoh : pada saat kasus krisis Tanjung Priok, maka yang terlibat diantaranya dalah para pemuka agama, karena dinilai memiliki kedekatan secara personal terhadap kasus tersebut.
2.               Kapasitas sumber daya manusia
Hal ini juga menjadi penting ketika situasi krisis memerlukan perencanaan dan solusi – solusi yang harus dikeluarkan dengan cepat, tepat dan sesuai harapan. Disini diperlukan SDM yang benar – benar mampu bertindak dan mengambil keputusan dalam waktu yang singkat. Dalam situasi krisis, semakin cepat situasi tersebut dikontrol, maka akan semakin memperkecil dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh krisis tersebut.
3.               Frekuensi waktu keterlibatan disaat situasi krisis terjadi
Apabila ketika situasi krisis terjadi, institusi atau lembaga tersebut terlibat langsung dan mengetahui kronologis secara rinci akibat interaksi yang terjadi secara bersamaan ketika situasi krisis terjadi.
  Pada penelitian kali ini, indikator – indikator yang ditemukan didasarkan kepada kondisi yang terjadi di lapangan. Setiap situasi krisis yang terjadi, pada umumnya memiliki indikator – indikator ini yang dapat dijadikan tolak ukur bagi keterlibatan sebuah institusi atau lembaga dalam menghadapi krisis yang sedang terjadi.
Berdasarkan indikator – indikator yang ditemukan diatas, maka humas dapat mengkategorikan kemudian masuk ke publik. yang mana masing – masing institusi, lembaga atau individu tersebut. seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa publik PR terbagi menjadi lima bagian yaitu :
1.               Publik Internal & Publik Eksternal
Dalam hal membagi publik ini, Humas Pemprov DKI telah mengimplementasikannya dengan baik. Menurut hasil yang didapat oleh peneliti yang masuk ke dalam kategori publik internal dari humas Pemprov DKI ini adalah kalangan internal lembaga seperti : staf, pemangku kebijakan, dinas – dinas terkait, dan lain – lain. Sedangkan untuk publik eksternal secara umum yaitu : pihak media dan masyarakat DKI Jakarta.
2.               Publik Primer, Sekunder dan Marjinal.
Yang dikategorikan sebagai publik primer oleh humas Pemprov DKI ialah pembuat keputusan dalam sebuah kebjakan seperti Gubernur, Wakil Gubernur, dan Sekretaris Daerah. Selain itu masyarakat DKI Jakarta dan media juga menjadi publik primer  karena keberadaan mereka akan menjadi penentu kelancaran dari sistem kerja lembaga pemerintahan ini. Kemudian yang menjadi publik sekunder adalah organisasi – organisasi yang memegang kepentingan seperti LSM. Publik marjinal dari Pemprov DKI Jakarta adalah masyarakat luas secara keseluruhan, karena Jakarta sebagai Ibukota negara tentunya selalu menjadi pusat perhatian dari setiap kalangan di Indonesia.
3.               Publik Tradisional dan Publik Masa Depan.
Yang menjadi publik tradisional dalam lembaga Pemrpov DKI adalah seluruh staf yang ada di wilayah lingkungan Pemprov DKI, sedangkan yang menjadi publik masa depan yaitu masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya secara keseluruhan, yang bisa saja sewaktu – waktu dapat terlibat langsung dalam sebuah kondisi krisis.
4.               Proponent, Opponent dan Uncommited.
Dalam hal ini humas Pemprov DKI perlu mengenali publik – publik ini agar dapat dengan jernih melihat permasalahan. Pengklasifikasian publik ini akan bergantung pada kondisi krisis apa yang sedang terjadi pada saat itu. Publik – publik ini tidak dapat ditentukan, karena pengkategoriannya akan berlangsung pada saat krisis tersebut sedang terjadi. Apabila krisis terjadi, maka akan terlihat mana yang bisa menjadi publik pendukung, publik yang menentang dan publik yang netral. Contoh : ketika kasus Tanjung Priok terjadi, maka yang bisa dinilai menjadi publik pendukung adalah media, dinas – dinas yang terkait dengan permasalahan, dan lain – lain. Yang menjadi publik penentang pada saat itu adalah organisasi kepentingan yang bersifat keagamaan yang tidak mengetahui secara persis duduk permasalahannya seperti apa. Adapun publik netral adalah masyarakat umum secara keseluruhan. Tetapi pada saat itu, posisi masyarakat sebagai publik netral ini perlu diwaspadai, karena bisa saja menjadi boomerang bagi Pemprov DKI sendiri.
5.               Silent Majority dan Vocal Minority
Yang dikategorikan dalam publik ini, juga dapat terlihat ketika situasi krisis itu sedang terjadi. Pihak humas Pemprov DKI cenderung melihat publik ini ketika pemberitaan mulai muncul di media. Dari pemberitaan tersebut, maka humas Pemprov DKI dapat melihat siapa saja publik yang aktif dalam memberikan suaranya dan siapa yang menjadi publik pasif.

Untuk itu dalam menangani krisis yang ada di Pemprov DKI, pihak humas harus benar – benar mengenali instansi atau dinas tersebut berada di posisi yang mana, apakah mampu mendukung atau memberikan dampak positif bagi Pemprov DKI atau tidak.

3.9.1.   Penanganan manajemen krisis bagi citra positif Pemprov DKI
Dalam teorinya Katz mengemukakan bahwa citra adalah bagaimana pihak lain memandang sesuatu hal. Hal inilah yang dijadikan poin utama ketika humas Pemprov DKI akan melakukan sebuah aktivitas sosialisasi program atau kebijakan. Humas pemprov DKI mengganggap bahwa citra positif bisa dilihat ketika muncul opini yang positif dari masyarakat.
Citra positif ini bisa diukur melalui kontrol pemberitaan media setiap minggunya. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa kegiatan mengontrol media ini menjadi suatu rutinitas bagi humas Pemprov DKI, karena hasil dari pantauan berita di media baik cetak maupun elektronik akan digunakan sebagai penentu langkah atau kebijakan yang akan diambil oleh Pemprov DKI.
Pada situasi krisis kegiatan kontrol media merupakan fokus utama, karena baik buruknya berita yang muncul di media akan sangat berpengaruh pada citra positif Pemprov DKI. Menurut Greener, Toni ada beberapa unsur pembentuk citra, apabila diaplikasikan ke dalam aktivitas pengelolaan manajemen krisis  yang dilakukan oleh humas Pemprov DKI, maka hasilnya sebagai berikut :
1.               Kemampuan finansial
Unsur ini masih menjadi dilema di lingkungan Pemprov DKI, karena dalam menentukan anggaran, pihak humas harus mengajukan terlebih dahulu dalam sebuah lelang, yang nantinya akan diputuskan oleh Pihak Pembuat Kebijakan, apakah anggaran tersebut disetujui atau tidak.
2.               Mutu Pelayanan
Sejauh ini pelayanan yang diberikan oleh pihak Humas Pemprov DKI terutama yang berkaitan dengan penyebaran informasi, dinilai sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari upaya pihak Humas Pemprov DKI dalam mengembangkan sistem informasi publik melalui website dan majalah internal lembaga, yaitu : jakarta.go.id, majalah Media Jaya, dan beritajakarta.com.
3.               Fokus kepada publik
Ada tiga sasaran publik dari Pemprov DKI, yaitu:  masyarakat umum (warga Jakarta), kalangan media, dan pemangku amanat seperti LSM, organisasi kepemudaan, dan lain-lain. Adanya pembagian publik ini, memperlihatkan bahwa pihak Pemprov DKI telah fokus pada apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh publiknya. Ada banyak perencanaan dan pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pihak Pemprov DKI terkait dengan penanggulangan berbagai isu di wilayah DKI Jakarta. Salah satu contohnya tertuang dalam  Penjelasan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Dalam Kunjungan Kerja  Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Februari 2008.
4.               Keunggulan dan kepekaan SDM
Pada unsur ini pihak Humas Pemprov DKI masih perlu merevitalisasi SDM yang ada di dalam lingkungan internalnya. Dari hasil observasi dan wawancara didapatkan bahwa pihak humas juga masih sering mengalami miskomunikasi dengan kalangan internalnya sendiri. Tetapi, hal ini juga tidak dijadikan kendala untuk terus meningkatkan kemampuan dan kualitas dari SDM yang lainnya.
5.               Reliability
Pada unsur ini, pihak Pemprov DKI tergantung pada isu – isu apa yang sedang berkembang. Tapi sejauh ini, berdasarkan mapping pemberitaan media di lingkungan humas, Pemprov DKI masih cukup dipercaya oleh publik untuk melaksanakan setiap kebijakan – kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan public.
6.               Inovasi
Berbicara tentang inovasi, hal ini sudah juga dilakukan oleh pihak Humas Pemprov DKI. terbukti dengan maju pesatnya perkembangan portal Pemprov DKI yang sudah diakui standard internasional dan menyamai portal yang seperti Sister City.
7.               Tanggung jawab lingkungan
Dalam hal tanggung jawab terhadap lingkungan, hal ini bisa dilihat dari pembangunan yang dilakukan oleh pihak Pemprov DKI dalam mengantisipasi setiap permasalahn di wilayah Jakarta. Contoh : Pembangunan sarana Kanal Banjir Timur, Ruang Terbuka Hijau, dan lain-lain.
8.               Tanggung jawab sosial dan penegakan Good Governance
Hal ini juga telah dilakukan oleh Pemprov DKI, karena Pemprov DKI menganggap bahwa focus terhadap kepentingan publik sangat memberikan dampak yanf positif pada citra positif Pemprov DKI.
Apabila humas berhasil menangani situasi krisis dengan baik, maka dengan sendirinya akan berdampak pada citra dari lembaga tersebut. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan bahwa dalam menjaga citra positif Pemprov DKI, pihak humas berupaya membangun sikap komunikatif dengan masyarakat, salah satu contoh yaitu dengan melakukan berbagai perbaikan serta pengembangan dari segi pelayanan informasi.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa ada saluran khusus yang bisa langsung diakses oleh masyarakat yang ingin mengetahui setiap kebijakan ataupun tindakan yang telah dilakukan oleh Pemprov DKI dalam memajukan DKI Jakarta menjadi Ibukota yang diakui oleh dunia. Dengan adanya kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses segala bentuk informasi yang diinginkan dari pihak Pemprov DKI Jakarta, maka akan semakin memperkecil kemungkinan akan terjadinya ketimpangan informasi di dalam masyarakat.
Adapun contoh dari media tersebut yaitu : jakarta.go.id, Media Jaya, dan beritajakarta.com. dari saluran media tersebut, masyarakat juga dapat menyampaikan aspirasinya secara langsung melalui tempat yang disediakan dari masing – masing media. Adanya media ini juga ditujukan untuk menjalin kedekatan secara emosional antara Pemprov DKI Jakarta dan publiknya secara langsung.



3.9.2.   Hambatan - Hambatan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa faktor – faktor yang menjadi penghambat akan aktivitas atau sosialisasi humas yaitu :
1.               Sumber Daya Manusia
Dalam hal ini masih diperlukan SDM yang memang memiliki kualitas dan kemampuan yang cukup memadai dalam bidang kehumasan.
2.               Anggaran Kehumasan
Untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah ini, humas juga masih terbentur pada masalah anggaran yang masih kurang memadai.
3.               Birokrasi Pemerintahan
Dalam melaksanakan aktivitasnya, humas Pemprov DKI juga masih dibatasi dengan adanya birokrasi – birokrasi, sehingga kecepatan untuk melakukan sebuah tindakan terkadang sulit dicapai karena harus melewati birokrasi tersebut.

4.              Kesimpulan
Dari hasil penelitian terdapat beberapa catatan yang ditemukan untuk menjawab pertanyaan pada permasalahan yang ada di bab satu penelitian ini, yaitu :
1.               Peran humas dalam keterlibatannya menghadapi manajemen krisis terbatas pada pusat pengelola informasi saja, karena humas yang bekerja dalam lembaga pemerintahan memiliki kewenangan terbatas dalam menjalankan aktivitas kehumasannya. Dalam menyebarkan informasi, penting untuk diperhatikan bahwa dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat humas harus memiliki keterbukaan terhadap apa – apa saja yang dibutuhkan oleh publik baik internal maupun eksternal. Kesalahan sedikit saja dalam memberikan informasi dapat menyebabkan ketidakpercayaan publik dan memperburuk citra positif lembaga pemerintahan.

2.               Dari ketiga indikator yang dikemukakan pada bab sebelumnya yaitu : kedekatan personal, kapasitas sumber daya manusia dan frekuensi waktu keterlibatan, maka yang paling berpengaruh dalam menentukan keterlibatan instansi atau unit adalah faktor  kedekatan personal. Hal ini bisa terlihat dari beberapa kali wawancara yang dilakukan, langkah pertama yang selalu diambil, mengacu pada identifikasi unit – unit yang terlibat. Biasanya unit yang akan dilibatkan ini adalah unit – unit yang memang memiliki kedekatan baik kedekatan wilayah, kesamaan minat, kepentingan,dan lain – lain.

3.               Penanganan manajemen krisis yang baik akan menghasilkan respon positif, terutama pada pemberitaan media. Pemberitaan media yang positif akan menghasilkan citra yang positif pula. Dalam pembentukan citra ini terdapat unsur – unsur pembentukan yang saling terhubung dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena di dalam pembentukan citra unsur – unsur tersebut sangat diperlukan bagi citra positif dalam jangka panjang.

4.1.         Implikasi Penelitian
Hasil temuan penelitian didapatkan dari hasil wawancara mendalam  yang peneliti lakukan dan juga hasil observasi terhadap implikasi teoritis mengenai manajemen krisis pada lembaga pemerintahan. Berikut paparannya:
a.               Implikasi Teoritis
Di dalam penelitian ditemukan kesesuaian teori Alison Theaker yang menyatakan bahwa praktisi humas yang bekerja untuk pemerintah daerah atau pemerintah pusat, memiliki batasan hukum untuk tidak bertindak di jalur politik. Pelayanan informasi akan kebijakan pemerintah menjadi wewenang sepenuhnya dari pihak humas yang bekerja dalam lingkup pemerintahan. Selain teori ini, teori Katz yang menyatakan bahwa krisis komunikasi membutuhkan tidak hanya penanganan ketika kondisi organisasi sedang berada di bawah krisis, tetapi juga langkah cepat oleh praktisi humas dalam merespon informasi terbaru di media juga merupakan teori yang sesuai dengan hasil temuan di lapangan.
Batasan hukum untuk tidak bertindak di jalur politik dan wewenang sepenuhnya akan publikasi dalam kebijakan pemerintah adalah hal-hal yang memang dilakukan oleh lembaga pemerintahan. Dimana ketika krisis itu terjadi maupun ketika situasi organisasi/lembaga dalam keadaan stabil, humas berperan sebagai perantara antara publik dan pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari peran aktif humas dalam memperbarui info-info terbaru mengenai kebijakan pemerintah serta program-programnya dalam portal yang dimiliki oleh lembaga pemerintahan, kemudian tanggapnya humas terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Kecepatan humas dalam menindaklanjuti masalah yang terjadi di masyarakat, tentunya sedikit banyak dapat mengurangi krisis yang mungkin timbul di lingkungan lembaga pemerintahan.
Kemudian pengelolaan aktivitas menjaga citra melalui pembinaan hubungan baik dengan media, adalah suatu wujud konkrit dari langkah cepat oleh praktisi humas dalam mencegah situasi krisis itu terjadi. Pemeliharaan hubungan baik dengan media ini memiliki berbagai fungsi yang berkaitan dengan pembentukan opini positif demi terjaganya citra lembaga pemerintahan.

b.               Implikasi Praktis
Kebebasan dalam mempublikasikan informasi-informasi maupun kebijakan pemerintah, memang menjadi hak sepenuhnya dari humas dalam lembaga pemerintahan. Tetapi pada kenyataannya, masih sering terjadi kesalahpahaman antara publik dengan pemerintahnya. Hal ini bisa disebabkan oleh keterlambatan penyampaian informasi dari lembaga pemerintah ke masyarakat akibat terhalang oleh birokrasi-birokrasi, maupun kepekaan masyarakat yang kurang dalam merespon informasi yang disampaikan oleh humas lembaga pemerintah.

Hubungan yang baik dengan media juga menarik untuk dijadikan upaya dalam menjaga citra positif lembaga pemerintahan, namun media disini hanya sebagai perantara untuk membentuk serta mengarahkan opini masyarakat, baik buruknya citra lembaga pemerintahan tersebut akan kembali lagi pada lembaga pemerintahan itu sendiri. Bagaimana lembaga pemerintahan membuat strategi sedemikian rupa untuk menjaga citra positifnya di hadapan publik, baik ketika situasi krisis tersebut terjadi maupun ketika situasi lembaga pemerintahan sedang dalam situasi yang normal dan stabil, karena komunikasi krisis yang efektif adalah komunikasi yang dilakukan justru ketika situasi krisis tersebut belum terjadi, hal ini akan mencegah situasi krisis berkembang kea rah yang negatif.

4.2.         Rekomendasi Penelitian
a.               Rekomendasi Akademis
Penelitian ini didasarkan pada teori Alison Theaker, yang mengungkapkan bahwa pada humas dalam sektor publik memang memiliki keterbatasan ruang gerak dan wewenang, sehingga dalam menjalankan aktivitasnya humas tidak menjadi leluasa karena dibatasi oleh adanya birokrasi pemerintahan. Pada penelitian berikutnya diharapkan akan ada perubahan terhadap teori yang ada, misal : terdapat kebebasan beraktivitas bagi humas dalam sektor  publik untuk melakukan serta mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya dalam membangun citra positif organisasi atau lembaga. Selain itu pada penelitian selanjutnya diharapkan akan memberikan sebuah contoh kasus nyata yang sedang dihadapi oleh lembaga pemerintahan. Adapun kasus yang akan diteliti nantinya tentu bisa lebih mengarahkan peneliti berikutnya untuk melihat langkah – langkah nyata yang dilakukan oleh humas lembaga pemerintahan dalam menjalankan aktivitas manajemen krisisnya.

b.               Rekomendasi Praktis
Dalam menjalankan perannya, humas diharapkan dapat lebih bereksplorasi di dalam menjalankan proses sosialisasi program dan lebih memiliki ide – ide yang inovatif sehingga publik dapat memiliki ketertarikan yang positif terhadap program – program yang dijalankan.

DAFTAR RUJUKAN

Referensi dari buku:

Ardianto, Elvinaro., Sumirat, Soleh. (2004) Dasar-dasar Public Relations. Cetakan Ketiga. Bandung : Remaja Rosdakarya

Baran, Stanley J. (2004). Introduction to Mass Communication, Media Literacy and Culture. Third Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Bungin, Burhan. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Cutlip, Scott, M., Center. Allen H. dan Broom, Glenn M. (2006). Effective Public Relations. Jakarta : Indeks

Fearn–Banks, K. (1996). Crisis Communications: A Case Book Approach. Mahwah, NJ : Lawrence Erlbaum

Guth., D.W. (1995). Organizational Crisis Experience and Public Relations Roles. Public Relations Review, Vol.21. (2)

Kimmel, Allan J., (2003). Rumours and Rumour Control: A Manager’s Guide to Understanding and Combatting Rumors New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates

Lesly, Philip (ed.). (1991). Handbook of Public Relations and Communication. 4th Ed. Chicago: Probus Publishing Co.

L’etang,  Jacquie  (2008).  Public  Relations: Concepts,  Practice  and  Critique,  London: SAGE Publications Ltd

Moleong, Lexy, J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy, J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Nova, Firsan. (2009). Crisis Public Relations. Jakarta : Grasindo

Patton, MQ. (2001). Qualitative Research and EvaluationMethods (2nd Edition). Thousand oaks, CA: Sage Publications

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kulitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Yosal Iriantara. (2005). Media Relations (konsep, pendekatan dan praktek). Bandung: Simbiosa Rekatama Media















Tidak ada komentar:

Posting Komentar